Rabu, 21 Oktober 2009

Jihad melalui Internet




(iPhA)

Teknologi internet memang fenomenal dan mendunia. Sebuah ideologi propaganda baru muncul, promosi jihad ekstrem melalui dunia maya. Beberapa pembom bunuh diri bahkan tertarik setelah mendapat informasi jihad via internet. Barat pun kewalahan.

Dalam buku berjudul Terror on the Internet, The New Arena, The New Challenges, guru besar komunikasi Universitas Haifa, Israel, Gabriel Weimann, mengatakan, teroris dunia maya sudah dalam taraf membahayakan. “Saat ini teroris tak hanya berperang di dunia nyata, tapi juga di dunia maya,” paparnya baru-baru ini.

Kehebatan mereka dalam dunia teknologi informatika ini sudah terbukti. Banyak peretas (hacker) dari kelompok jihadis menyerang sekitar 750 situs internet Israel, termasuk bank terbesar di negara itu. Hal ini terjadi setelah Israel melancarkan agresi militer ke Jalur Gaza pada akhir 2008 hingga awal 2009.

“Kalian membunuhi rakyat Palestina, kami bajak server kalian,” demikian pesan yang tertera di sebuah homepage salah satu situs milik Israel yang diganggu. Kalangan cyber kelompok Islam ekstrem juga mengenal beberapa sosok peretas legendaris. Salah satunya Younis Tsouli asal London Barat yang memiliki nama virtual Irhaby 007.

Pemuda berusia 22 tahun itu melakukan sejumlah aksi. Salah satu yang sangat dikenal di dunia maya adalah video-video Syekh Abu Musab Al Zarqawi di awal perang Irak. Dia mengirimkan video tersebut ke hampir seluruh situs dan forum penentang Barat. Tsouli bahkan membuat sebuah buku panduan hacker bagi pemula untuk memulai serangan ke situs-situs Barat dan sekutunya.

Dunia Barat merasa khawatir dengan makin maraknya propaganda perang dari kalangan Islam radikal. Bahkan, para pakar berpendapat kehadiran situs interaktif Web 2.0 merupakan bahaya yang harus disikapi. Pasalnya, aplikasi tersebut tak melakukan moderasi dari pemilik portal. Misalkan situs video YouTube, begitu mengetik kata ‘jihad’, muncul lebih dari 40 ribu entri video propaganda ekstrem untuk menghancurkan Barat dan sekutunya.

Tidak hanya YouTube, situs jejaring sosial Facebook kini telah menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Barat. Di situs ini tak terhitung jumlah pengikut Islam radikal. Mereka dapat membuat profil, menulis email, dan bergabung membentuk kelompok yang mempropagandakan sikap bermusuhan secara terbuka.

Jurnalis asal Hamburg, Christoph Gunkel, seperti dikutip laman Qantara.de mencontohkan ketika terjadi kasus serangan bunuh diri di Jerusalem awal tahun lalu. Serangan yang menewaskan delapan orang di sebuah sekolah agama Yahudi, Yeshiva, itu dilakukan seorang Palestina radikal bernama Abu Dhaim.

"Tak lama setelah itu, di Facebook tampil sebuah kelompok yang memuji si pembunuh sebagai syuhada. Kelompok-kelompok ini kemudian sudah tentu memancing komentar, foto, dan video," paparnya.

Kelompok militan Al Qaeda ditengarai telah mengoptimalkan penggunaan internet untuk melakukan perekrutan anggota baru. Bahkan, Arab Saudi sebagai sekutu Amerika sampai harus menghabisi Issa Saad bin Oshan, seorang redaktur media online yang mempropagandakan perang terhadap Barat. Namun, hal ini tidak membuat perlawanan mereka terhenti.

Kelompok itu justru menerbitkan dua majalah yang didistribusikan secara luas selama beberapa tahun terakhir. “Terbukti kekuatan Al-Qaeda di Saudi sangat hebat. Mereka mampu menerbitkan majalah dua kali sebulan, selama setahun penuh. Padahal, banyak tokohnya yang terbunuh,” kata Paul Eedle, analis di London yang mencermati situs-situs Al-Qaeda.

Sejumlah hacker dari Israel kini tengah menggunakan metode untuk membajak jaringan-jaringan online kelompok radikal itu dan melumpuhkannya. Namun, tetap saja kelompok radikal berikutnya tetap muncul.

Cara yang lebih elegan juga ditempuh sejumlah kelompok di Web 2.0. Mereka melakukan upaya pencerahan dengan melakukan perdebatan, menelanjangi propaganda kekerasan dan mengejek film-film kebencian melalui parodi. Namun, semua itu memang ibarat mencari mana yang lebih dulu, ayam atau telur.

Barat kini kewalahan dengan perkembangan teknologi cyber. Pakar internet dari Berlin, Burkhard Schröder, menyebut, diperlukan banyak sekali waktu untuk membuat profil dari orang-orang yang dapat melakukan kontak dengan kelompok-kelompok ekstrem itu. Termasuk mendokumentasikan material-material terkait.

"Saya perlu setengah tahun untuk mengerti piranti lunaknya yang banyak sekali kegunaannya. Untuk mengetahui bagaimana masyarakat-masyarakat virtual itu dibentuk, tidaklah mudah. Sebagian dari pembentukan itu dilakukan secara tersembunyi," jelasnya.

Sebab, ketimpangan informasi yang dilansir media-media Barat memang telah menimbulkan disinformasi. Sehingga, tak heran jika kini bertumbuhan media-media alternatif. Jika CNN dan BBC kini disaingi Al Jazeera dan Press TV, di dunia maya pesaing-pesaing ini sungguh tak terbatas jumlahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar